Saturday, November 10, 2007

Piutangku Dibayar Kontan



Tulisan ini pernah dimuat majalah Kartini, rubrik Setetes Embun

Sengaja saya posting disini karena saya fikir masih relevan kapan pun tulisan ini untuk dibaca.




Menghitung satu minggu seperti menghitung satuan detik. Tempo tujuh hari itu seperti kilat yang siap menyambar atau mungkin bahkan menghanguskan aku. Sempit sekali rasanya waktu itu. Dan rasanya aku ingin melambatkan waktu ini. Detik menjadi hari, dan hari menjadi minggu, hingga aku bisa cukup nafas lagi dan bekerja keras lagi.

Ya, minggu depan nanti sepertinya akan cepat tiba karena aku memang mesti menghadap A Dani di rumahnya. Calon iparku itu pasti menantiku dengan uang sumbangan nikah yang aku janjikan. Bukan hanya dia yang menanti, tetapi juga keluarga Hafsha, calon istriku, dan terutama panitia pernikahan. Meski bukan akan menjadi berakhir segalanya tanpa uang itu, tapi buat aku uang itu adalah perlambang mampunya aku menikahi seorang gadis disamping mahar yang akan aku hadiahkan untuk calon istri tercinta. Janji itu juga untuk sekaligus meneguhkan pihak keluarga Hafsha bahwa aku ini seorang yang siap nikah, lahir dan batin. Nikah itu perlu kesiapan dan kemampuan juga dari segi finansial.

Tanpa sadar, aku sudah diliputi rasa takut. Mungkin ini rasa takut yang sangat luar biasa yang pernah aku alami. Belum pernah sebelumnya, aku merasakan kondisi seperti ini. Kalau dulu jika aku ditanyakan kabar oleh A Dani, aku akan merasa senang dan juga gembira. Ya, bahkan wajahku seakan tiada berhenti untuk senyum karena aku begitu bahagia dengan rencana pernikahan itu. Tapi, kondisi itu sekarang begitu terbalik. Betapa paniknya aku sekarang. Telepon kemarin dari A Dani menambah rasa takut, cemas, dan juga pesimis apakah aku mampu atau tidak memenuhi janjiku itu.

Yang membuat kesal lagi, aku menjadi seperti orang yang bodoh. Aku sejatinya orang yang selalu membuat rencana untuk segala sesuatu yang akan aku kerjakan, dan itu dengan sedetil mungkin dan menyiapkan alternatif-alternatifnya. Kalau Plan A tidak terlaksana, biasanya aku sudah siap dengan Plan B, C, dan seterusnya. Tapi untuk rencana pernikahan ini, aku tiba-tiba menjadi seorang yang tanpa rencana dan perhitungan. Masih ingat, ketika A Dani membuat proposal sederhana tentang detail pernikahan dengan biayanya, aku dengan serta merta mennyanggupi untuk memberikan sumbangan dana sebesar 30 juta, padahal simpananku di bank sedang bersaldo nol. Dibilang tanpa perhiitungan karena aku terlalu optimis. Uang yang akan aku berikan itu aku asumsikan berasal dari uangku sendiri yang sedang dipinjamkan ke orang lain. Saya berfikir pada waktu itu, dengan jangka waktu tiga bulan ke depan dari hari penentuan pernikahan hingga hari H akan cukup waktu untuk mengumpulkan uang itu.

Tapi, semakin dekat hari janji itu datang, uang yang saya janjiikan itu belum terkumpul juga. Sejak aku mau menikah, aku sebenarnya sudah utarakan niatku itu dan mereka mengerti dengan kondisi itu. Janji mereka itu tadinya telah menenangkanku. Aku berfikir, aku telah menabung kepada mereka dan pada saat yang diperlukan, mereka akan mengembalikannya. Itulah mungkin tabungan yang terbaik yang ideal. Ketika kita lapang dengan berharta dan beruang simpanlah kepada orang yang membutuhkannya pada saat sempit.

Ade, adikku sendiri yang pernah meminjam uangku berjanji akan membayarkan sebagian pinjamannya nanti dua atau tiga hari sebelum penyerahan uang sumbangan itu. Sebenarnya saya tidak tega dengan melihat kondisinya saat itu. Ia, yang menikah duluan, sekarang lagi repot-repotnya dengan anak pertamanya dan istrinya yang sedang mengandung lagi. Dulu, ketika menikah Ade meminjam dengan bahasa yang santun kalau saat itu aku-lah satu-satunya orang yang bisa dimintanya tolong. Sementara itu aku sendiri dalam kondiri sedang siap-siapnnya menikah dari segi materi. Makanya aku memberinya dengan tulus. Ketika orang lain yang telah siap dengan pasangannya untuk menikah, ialah yang harus duluan maju untuk menikah. Tapi ketika pada hari yang dijanjikan ia hanya bertelepon mengatakan bahwa ia tidak bisa menyediakan uang sumbangan tersebut. Aku hanya diam seribu bahasa.

Lalu, adik bungsuku yang pernah meminjam untuk keperluan studinya. Ia sendiri telah menikah dan berjanji akan mengembalikan hanya tiga bulan berselang setelah pendidikan ditempuhnya. Tapi ia juga belum bisa mengembalikannya karena perusahaannya yang sedia akan mengembalikan uang pendidikannya itu ternyata belum juga menepatinya. Aku hanya bergumam, jika memang belum ya sudah tidak apa-apa.

Dan ketika aku berharap kepada Cak Nur, sahabatku yang pinjam untuk usahanya, janjinya juga tidak terpenuhi. Aku menjadi tidak tahu harus berbuat apa. Tabungan ideal itu menjadikan aku bingung tiada arti. Semuanya tidak berarti. Aku jadi berfikir lagi kepada siapa dan apa yang menjadi bisa pemasukan untuk biaya nikah itu. Bonus pekerjaan dan jasa produksi tidak bisa didatangkan sekehendak sendiri dan perhitungan pasti. Atau yang lain, aku tidak bisa berfikir jernih lagi.

Sampai suatu malam, aku merenung apa saja yang menjadikan ini semua. Masih ingat beberapa tahun lalu bagaimana kondisi itu malah terjadi kebalikannya. Betapa siapnya aku nikah waktu itu. Tabunganku cukup dan aku belum pernah berhutang kepada siapapun. Aku pernah bikin anggaran imajiner dan aku jadi tertawa. Betapa pada waktu itu sudah berimajiner tentang mahar, baju pengantin, gedung, dan rumah baru padahal calon saja belum ada. Saking siapnya sampai pernah menantang diri sendiri, sekiranya ada gadis yang benar-benar cocok dan siap nikah niscaya aku akan menihaninya hari itu juga.

Dan sekarang, setelah 5 tahun berlalu, gadis yang kucari itu telah ada. Tidak ada pacaran, tidak ada bersayang-sayangan terlebih dulu. Semuanya begitu cepat. Guru mengaji yang menyodorkan Hafsha dan aku menerimanya dengan keikhlasan. Detail mengenai Hafsha saya berserah diri dan aku cuma tau ia mengkaji Islam dan insya Allah shalelah. Aku Cuma ingat pesan bang Ikhsan,” Apalagi yang kamu cari? Insya Allah dia Shalehah.” Dan itu yang menjadi pegangan aku dan janji Allah kepada Hambanya yang bertawaqal “Barang siapa menikahi perempuan karena agamanya (akhlaknya), maka akan Aku baguskan segalanya : keturunanya, hartanya, kedudukannya.”

Selama lima tahun itu mencari calon dan selama itu tabungan nikah itu naik turun saldonya, kadang terdebet kadang terkredit dalam jumlah besar. Aku sendiri menjadi tidak peduli dengan saldo minimum. Fikirku, calon saja belum ada kenapa harus berhitung dengan tabungan. Dan kebetulan transaksi debet lebih banyak daripada transaksi kredit. Aku memberi pinjaman-pinjaman itu tanpa pernah membuat kwitansi tanda terima dan tidak pula bertanya kapan mau mengembalikan. Aku memberinya karena untuk menolong dan hanya pegang janjinya. Makanya ketika saat aku membutuhkannya betapa sulitnya mengingat-ingat siapa saja yang pernah pinjam dan berapa jumlahnya. Disamping itu aku merasa tak tega ketika akan menagih karena yang ditagih sendiri adalah saudara kandung dan sedang repot. Dan saya pun akan diam tak bersuara, meski di kepala masih dengan gambaran tabungan yang masih bersaldo kosong.

Malam pun berakhir dengan tangis di akhir tahajudku. Aku menjadi tidak tahu harus berbuat apa dan aku hanya berserah diri kepada Allah, Tuhanku yang Maha Kaya,” Ya Allah, jika sekiranya aku ini Kau anggap lalai dalam berencana, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha berencana. Jika seandainya aku berencana tetapi Engkau tidak berkehendak, maka ampunkan aku dan beri tahu aku Kehendak-Mu itu.”

Dan ketika pagi yang dijanjikan itu datang, aku tidak tahu harus berbuat apa karena tak ada uang di tangan. Aku tidak tahu harus berbicara apa nanti. Sampai tiba pada suatu detik dimana aku sedang menutup pintu dan bergumam “ Ya Allah azza wajjala, Penguasa Alam Semesta, lapangkan kami dari urusan Dunia yang fana ini,” tiba-tiba Hpku berdering, ada nada SMS masuk. SMS itu terkirim dari Pak Haji Karni, sahabatku di pengajian. “Fachri, terima kasih bantuannya. Alhmadullilah, tanah saya yang kemarin Fachri tawarkan ke Pak Andreas sudah terjual. Sebagai tanda syukur saya telah transfer ke rek. Fachri di BCA. Jazakamallah Khairan Khasiran.” Begitu bunyi SMS itu. Datar tapi dahsyat.

Subahanallah..Alhamdulillah..Allahu Akbar. Dadaku berdegup. Hati berdesir. Allah ternyata berkehendak lain. Ketika dicek di ATM, jumlahnya persis dengan jumlah yang aku janjikan ke A Dani. Mataku memerah. Tak terasa mataku berair. Allah telah membayar kontan tabungan ideal hambaNya yang berserah diri.



No comments: